Don't be thinking of unnecessary things. Win today's game! Think only about that

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Nol koma tujulima

Ini cerita jaman gue masih duduk di bangku smp. Ya, masa-masa anak ababil alias abege labil. Lebih tepatnya saat kelas delapan.

Sedari sd gue udah suka matematika. Bukannya gimana, itu karena gue gak bisa pelajaran yang lain. Ips? Beuh. Dan karena itu, rasa suka itu berlanjut hingga tingkat smp. Suatu ketika, saat di kelas delapan, datanglah guru matematika ini. Sebut saja Mr. D.

Mr. D ini unik sekaligus menyebalkan. Unik karena tiap kali dia lewat, gue selalu samar-samar merasa mencium aroma sampo (tebakan gue sampo Cl**r). Dia juga suka ngitung berapa kali kita menguap -_- Dan menyebalkan karena untuk pertama kalinya gue dipermalukan di depan kelas karena nilai matematika gue yang jelek. (Dikasih tau orang tua nilainya!)

Hari itu, Mr. D mengadakan apa-yang-kita-sebut-sebagai-ulangan-dadakan-tapi-kuis-bagi-dia. Gue benci ulangan dadakan. Apalagi saat itu gue belum paham materinya. Matilah. Untungnya, gue masih punya teman seperjuangan. Kawan-kawanku yang kondisinya sama sepertiku yuhuu.

Kombinasi gak ngerti materi dan ulangan dadakan itu sukses menorehkan angka 4 di atas kertas. Nilai mat gue empat! :' Kalo saat itu gue nengok kanan-kiri (maksudnya, nanya nilai temen), ternyata gak cuma gue yang bernasib sial. Emang rata2 nilai anjlok. #@%&^#%

Alhasil, remedial pun dilaksanakan. Gue lupa kronologisnya hingga saat nilai remedial dbagiin, hati gue mencelos. Nilai anak-anak lain bisa dibilang bagus atau seenggaknya lolos KKM. Nah, gue....

Mr. D : Desti! Nol koma tujuh lima...
Gue : Ha?! *kaget* *maju dengan gontai* *speechless*

Sedih banget. Mending gue dapet nol aja sekalian! Sekalian aja jelek, gak usah nanggung begitu. Alhasil gue murung untuk sisa hari itu.

Sampai sekarang, gue gak bisa nemuin kertas ulangannya. Firasat gue, kertasnya lenyap karena udah gue sobek-sobek....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Expectation vs Reality

Setelah berminggu-minggu hilang dari peradaban, akhirnya gue kembali lagi lalala~ Karena nyokap lagi sakit, gue sebagai anak perempuan tertua mengambil alih peran ibu rumah tangga di rumah. Itu artinya gue yang bersih-bersih rumah dan dan gue juga yang masak. Masak buat sahur dan buat berbuka puasa. Gue merasa berkuasa.

 
Uji coba pertama mengekpansi dapur adalah saat gue dan adek mencoba bikin pudding stroberi. Kita bagi tugas. Adek cari resep di google, gue nyiapin peralatan. Gue turunin mixer yang jarang dipake dari rak. Sip. Adek gue dengan bangga nyerahin resep yang menurutnya paling gampang. Gue mulai menyingsingkan lengan baju. Oke, bahan-bahan ternyata udah lengkap di rumah. Siang-siang,  gue mulai berkutat ngocok telor pake mixer. 


Ekspektasi :











Realita :















Failed! Kayaknya gue ngocoknya terlalu cepet, jadi gak kecampur -_- Teksturnya terlalu padat. Rasanya juga biasa aja. Setelah makan satu potong pas buka puasa, gue gak berkeinginan makan pudding keras itu lagi.


Oh iya. Kemaren sempet bukber bareng Icha Yede Hana Ainy Gita dan dapet kado ini :3 Unyuu. Saya janji akan makan banyak! Love you too much <3

Plus kertas kado gambar peta dunia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

[REVIEW] Totto-chan : Gadis Cilik di Jendela





Aku mulai membaca novel Totto-chan ketika berada di bangku kelas 9. Seorang guru fisika yang baik dan pintar pernah membawa buku itu, dan saat itu aku hanya sebatas tahu judulnya. Entah ingin menyamakan daftar buku bacaanku dengan sang guru (aku menghormati guru itu sampai sekarang) atau bagaimana, aku mulai menyelami kisah masa kecil Tetsuko Kuroyanagi.

Pepatah don’t judge book by its cover mungkin tak berlaku untuk buku ini. Karena menurutku covernya terlihat menarik, dengan warna putih dan pink yang mendominasi. ‘Covernya cantik sekali,’ pikirku saat melihat tumpukan buku itu di toko buku. Dan karena aku membeli versi hard cover, kondisi fisiknya masih baik dan sekarang masih tersimpan rapi di rak buku meski sudah bertahun-tahun dibeli.

Cerita bermula saat Totto-chan (panggilan akrab Tetsuko) dikeluarkan dari sekolahnya karena para guru menganggap ia sebagai ‘anak nakal’. Cap ‘anak nakal’ bisa melekat pada diri Totto-chan muda saat itu karena anak itu lebih memilih mengobrol dengan pengamen jalanan melalui jendela kelas ketimbang mendengarkan pelajaran dari ibu guru. (Kejadian  ini berakhir dengan semua anak di kelas berkumpul di depan jendela dan mendengarkan para pengamen bernyanyi.) Ia juga terlalu sibuk mengutak-atik meja barunya di kelas, dan pada akhirnya mengacaukan suasana kelas. Atau bicara pada sepasang burung wallet yang tengah membuat sangkar di pohon di luar kelas!

Ia lari ke tempat Mama menunggu sambil berteriak, “Aku ingin jadi penjual karcis!”
Mama tidak kaget. Dia hanya berkata, “Kukira kau ingin jadi mata-mata.”

Beruntung Totto-chan punya ibu yang sangat mengerti keadaan putrinya. Pikirnya, putriku akan menderita tekanan batin kalau tahu ia sudah dikeluarkan dari sekolah. Anak itu tidak tahu kesalahannya! Dengan tegar Mama mulai membawa Totto-chan ke sekolah barunya. Sekolah dengan gerbong kereta sebagai ruang kelas dan kepala sekolah baik hati bernama Sosaku Kobayashi. Tomoe Gakuen.

Keseluruhan cerita perjalanan masa kecil Totto-chan membuat pembacanya tersenyum, geleng-geleng takjub, hingga menangis. Setiap chapternya bercerita setiap aksi Totto-chan dalam kondisi yang berbeda-beda. Gembira, semangat, haru, sedih.

“Totto-chan, kau benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?”

Kuroyanagi menjabarkan cerita yang ditulisnya dengan perspektif anak kecil. Bisa dibilang, wanita itu benaar-benar mengerti tentang anak-anak. Ia mengerti jalan pikiran anak yang polos dan berbeda dengan orang dewasa. Asal tahu saja, Kuroyanagi menulis bukunya saat berusia 49 tahun. Berapa banyak orang dewasa saat ini yang masih benar-benar ingat kejadian masa kecil mereka dan mengerti perasaan anak-anak?

Buku ini adalah terjemahan dari novel 窓ぎわのトットちゃん (Madogiwa no Totto-chan). Gaya bahasa novel terjemahan Jepang berbeda dengan buku terjemahan Inggris. Meski awalnya terdengar aneh, semuanya terbayar sudah dengan ceritanya yang manis dan menginspirasi.

Berbagai gagasan kritis terhadap metode pendidikan anak, terutama di Indonesia, berkecamuk di pikiran. Kisah ini mengajarkan pada orang dewasa bahwa anak-anak yang kerap dicap nakal oleh masyarakat sebenarnya hanya butuh ‘ruang’ untuk mengekspolarasi lingkungan sekitarnya. Anak-anak yang sering kali disebut ‘pecicilan’ akan tumbuh menjadi anak yang aktif dan percaya diri apabila mendapat metode pengajaran yang tepat, baik dari keluarga maupun sekolah.

”Bagaimana kalau kau pindah ke sekolah baru ? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS