Ini cerita jaman gue masih duduk di bangku smp. Ya, masa-masa anak ababil alias abege labil. Lebih tepatnya saat kelas delapan.
Sedari sd gue udah suka matematika. Bukannya gimana, itu karena gue gak bisa pelajaran yang lain. Ips? Beuh. Dan karena itu, rasa suka itu berlanjut hingga tingkat smp. Suatu ketika, saat di kelas delapan, datanglah guru matematika ini. Sebut saja Mr. D.
Mr. D ini unik sekaligus menyebalkan. Unik karena tiap kali dia lewat, gue selalu samar-samar merasa mencium aroma sampo (tebakan gue sampo Cl**r). Dia juga suka ngitung berapa kali kita menguap -_- Dan menyebalkan karena untuk pertama kalinya gue dipermalukan di depan kelas karena nilai matematika gue yang jelek. (Dikasih tau orang tua nilainya!)
Hari itu, Mr. D mengadakan apa-yang-kita-sebut-sebagai-ulangan-dadakan-tapi-kuis-bagi-dia. Gue benci ulangan dadakan. Apalagi saat itu gue belum paham materinya. Matilah. Untungnya, gue masih punya teman seperjuangan. Kawan-kawanku yang kondisinya sama sepertiku yuhuu.
Kombinasi gak ngerti materi dan ulangan dadakan itu sukses menorehkan angka 4 di atas kertas. Nilai mat gue empat! :' Kalo saat itu gue nengok kanan-kiri (maksudnya, nanya nilai temen), ternyata gak cuma gue yang bernasib sial. Emang rata2 nilai anjlok. #@%&^#%
Alhasil, remedial pun dilaksanakan. Gue lupa kronologisnya hingga saat nilai remedial dbagiin, hati gue mencelos. Nilai anak-anak lain bisa dibilang bagus atau seenggaknya lolos KKM. Nah, gue....
Mr. D : Desti! Nol koma tujuh lima...
Gue : Ha?! *kaget* *maju dengan gontai* *speechless*
Sedih banget. Mending gue dapet nol aja sekalian! Sekalian aja jelek, gak usah nanggung begitu. Alhasil gue murung untuk sisa hari itu.
Sampai sekarang, gue gak bisa nemuin kertas ulangannya. Firasat gue, kertasnya lenyap karena udah gue sobek-sobek....
Nol koma tujulima
11.08 |
Comments(0)
Expectation vs Reality
11.03 |
Setelah berminggu-minggu hilang dari peradaban, akhirnya gue
kembali lagi lalala~ Karena nyokap lagi sakit, gue sebagai anak perempuan
tertua mengambil alih peran ibu rumah tangga di rumah. Itu artinya gue yang
bersih-bersih rumah dan dan gue juga yang masak. Masak buat sahur dan buat
berbuka puasa. Gue merasa berkuasa.
Uji coba pertama mengekpansi dapur adalah saat gue dan
adek mencoba bikin pudding stroberi. Kita bagi tugas. Adek cari resep di
google, gue nyiapin peralatan. Gue turunin mixer yang jarang dipake dari rak. Sip.
Adek gue dengan bangga nyerahin resep yang menurutnya paling gampang. Gue
mulai menyingsingkan lengan baju. Oke, bahan-bahan ternyata udah lengkap di rumah.
Siang-siang, gue mulai berkutat ngocok
telor pake mixer.
Ekspektasi :
Realita :
Failed! Kayaknya gue ngocoknya terlalu cepet, jadi gak kecampur -_- Teksturnya terlalu padat. Rasanya juga biasa aja. Setelah makan
satu potong pas buka puasa, gue gak berkeinginan makan pudding keras
itu lagi.
Oh iya. Kemaren sempet bukber bareng Icha Yede Hana Ainy Gita dan dapet kado ini :3 Unyuu. Saya janji akan makan banyak! Love you too much <3
![]() |
Plus kertas kado gambar peta dunia |
[REVIEW] Totto-chan : Gadis Cilik di Jendela
Aku mulai membaca novel Totto-chan ketika berada di
bangku kelas 9. Seorang guru fisika yang baik dan pintar pernah membawa buku
itu, dan saat itu aku hanya sebatas tahu judulnya. Entah ingin menyamakan
daftar buku bacaanku dengan sang guru (aku menghormati guru itu sampai
sekarang) atau bagaimana, aku mulai menyelami kisah masa kecil Tetsuko
Kuroyanagi.
Pepatah don’t judge
book by its cover mungkin tak berlaku untuk buku ini. Karena menurutku covernya
terlihat menarik, dengan warna putih dan pink yang mendominasi. ‘Covernya cantik
sekali,’ pikirku saat melihat tumpukan buku itu di toko buku. Dan karena aku
membeli versi hard cover, kondisi fisiknya masih baik dan sekarang masih
tersimpan rapi di rak buku meski sudah bertahun-tahun dibeli.
Cerita bermula saat Totto-chan (panggilan akrab Tetsuko)
dikeluarkan dari sekolahnya karena para guru menganggap ia sebagai ‘anak nakal’.
Cap ‘anak nakal’ bisa melekat pada diri Totto-chan muda saat itu karena anak
itu lebih memilih mengobrol dengan pengamen jalanan melalui jendela kelas
ketimbang mendengarkan pelajaran dari ibu guru. (Kejadian ini berakhir dengan semua anak di kelas
berkumpul di depan jendela dan mendengarkan para pengamen bernyanyi.) Ia juga
terlalu sibuk mengutak-atik meja barunya di kelas, dan pada akhirnya mengacaukan
suasana kelas. Atau bicara pada sepasang burung wallet yang tengah membuat
sangkar di pohon di luar kelas!
Ia
lari ke tempat Mama menunggu sambil berteriak, “Aku ingin jadi penjual karcis!”
Mama
tidak kaget. Dia hanya berkata, “Kukira kau ingin jadi mata-mata.”
Beruntung Totto-chan punya ibu yang sangat mengerti
keadaan putrinya. Pikirnya, putriku akan menderita tekanan batin kalau tahu ia
sudah dikeluarkan dari sekolah. Anak itu tidak tahu kesalahannya! Dengan tegar
Mama mulai membawa Totto-chan ke sekolah barunya. Sekolah dengan gerbong kereta
sebagai ruang kelas dan kepala sekolah baik hati bernama Sosaku Kobayashi.
Tomoe Gakuen.
Keseluruhan cerita perjalanan masa kecil Totto-chan membuat
pembacanya tersenyum, geleng-geleng takjub, hingga menangis. Setiap chapternya bercerita setiap aksi
Totto-chan dalam kondisi yang berbeda-beda. Gembira, semangat, haru, sedih.
“Totto-chan,
kau benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?”
Kuroyanagi menjabarkan cerita yang ditulisnya dengan
perspektif anak kecil. Bisa dibilang, wanita itu benaar-benar mengerti tentang
anak-anak. Ia mengerti jalan pikiran anak yang polos dan berbeda dengan orang
dewasa. Asal tahu saja, Kuroyanagi menulis bukunya saat berusia 49 tahun. Berapa
banyak orang dewasa saat ini yang masih benar-benar ingat kejadian masa kecil
mereka dan mengerti perasaan anak-anak?
Buku ini adalah terjemahan dari novel 窓ぎわのトットちゃん (Madogiwa
no Totto-chan). Gaya bahasa novel terjemahan Jepang berbeda dengan buku
terjemahan Inggris. Meski awalnya terdengar aneh, semuanya terbayar sudah
dengan ceritanya yang manis dan menginspirasi.
Berbagai gagasan kritis terhadap metode pendidikan anak, terutama
di Indonesia, berkecamuk di pikiran. Kisah ini mengajarkan pada orang dewasa
bahwa anak-anak yang kerap dicap nakal oleh masyarakat sebenarnya hanya butuh ‘ruang’
untuk mengekspolarasi lingkungan sekitarnya. Anak-anak yang sering kali disebut
‘pecicilan’ akan tumbuh menjadi anak yang aktif dan percaya diri apabila
mendapat metode pengajaran yang tepat, baik dari keluarga maupun sekolah.
”Bagaimana kalau kau pindah ke sekolah
baru ? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.”
Langganan:
Postingan (Atom)