Don't be thinking of unnecessary things. Win today's game! Think only about that

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Last Kiss Chapter 2

Karena beberapa hari yang lalu gue pergi ke Padang dan hari Minggu mendadak Blogger gak bisa dibuka, gue baru sempet nge-update FF ini di blog. -__-

Anyway, as I promised, this is the second chapter of Last Kiss! Enjoy!

Summary : Hiruma Youichi berangkat menuju Amerika Serikat untuk menjadi pemain NFL. Setelah setahun Mamori, kekasihnya, tak menerima satu pun kabar darinya.

Disclaimer : I don't own Eyeshield 21. It's Inagaki-san and Murata-san's.

A/N : Awalnya saya berniat menjadikan FF ini sebagai OneShot. Tapi atas desakan pembaca (saya gak mengeluh loh!), diputuskan untuk membuat lanjutannya. Untuk teman baik saya yang juga merangkap sebagai beta-reader, makasiiih banyak! Dan untuk readers, makasih banyak atas reviewnya! Review kalian membantu saya untuk tetap semangat menulis :D

Now folks, enjoy the reads and please review! XD



Mamori memejamkan mata sebentar, kemudian menyunggingkan senyum ramah ke arah Hiruma. Ia sudah memutukan untuk mengubur emosinya dalam-dalam. Yang ia inginkan saat ini hanya berbincang kembali dengan Hiruma, sebagai teman lama. Ia hendak akan berjalan menghampiri Hiruma sampai matanya menangkap sekilas gerakan tangan Hiruma. Tunggu aku di sana! Mamori mengerjap, kemudian mengangkat tangannya ke atas, memberikan tanda Oke!

Hiruma berjalan menghampiri Mamori yang tanpa sadar menahan napas sedari tadi. "Anezaki, lama tak jumpa..." sapanya seraya mengulurkan tangan. Mamori memandangi tangan Hiruma yang terulur, lalu wajahnya, kemudian menjabat tangan Hiruma. "Ah, Hiruma-kun! Lama tak jumpa," sapa Mamori. Tanpa satu patah kata pun, mereka menepi ke pinggir jalan. Keduanya terdiam sampai masing-masing dari mereka angkat bicara.

"Aku—" mulai Hiruma.

"Apa kau—" tanya Mamori.

Mereka bertatapan dengan kening berkerut. "Kau duluan," kata Hiruma.
Mamori mengangkat sebelah alisnya, heran.

Ia berdeham gugup. "Apa kau sudah makan malam?" mulainya. "Aku hendak akan makan malam di restoran, tapi kupikir akan lebih baik kalau aku mengajakmu juga." Ketika melihat ekspresi Hiruma, ia cepat-cepat menambahkan, "Kita bisa bertukar sapa sembari makan!"

Hiruma bisa saja menolak ajakannya—ia sudah bersiap-siap mendengarnya. Namun yang ia heran, Hiruma menerima ajakannya begitu saja. "Baiklah, aku juga belum makan malam. Bagaimana kalau di restoran Jepang saja?"

"Tentu," sahut Mamori sambil tersenyum.

Mereka berjalan bersisian, terkadang bahu mereka bersentuhan dan membuat Mamori beringsut menjauh. Ia bisa mencium bau mint menguar dari tubuh Hiruma, yang tanpa ia sadari membuatnya merasa nyaman. Rasa nyaman dan aman tiap kali bersama Hiruma. Ia memasukkan tangannya yang terkepal ke dalam saku mantel dan berusaha menjernihkan pikirannya yang berkabut.

Jalanan di Tokyo memang selalu ramai, baik siang atau malam. Ia bisa melihat sekelompok wanita yang membawa kantung belanja sedang mengobrol di sebuah kedai kopi. Atau laki-laki berpakaian resmi berjalan melintas dengan ponsel menempel di telinga, sepertinya sedang berbicara serius.

Ia melirik Hiruma yang berjalan di samping kanannya. Ia hendak akan membuka percakapan, tapi justru kalimat ini yag keluar. "Cuaca hari ini bagus, ya."

Ia tak tahu dari mana datangnya kalimat konyol macam itu. Mengasumsikan bahwa otaknya sedang berkabut hari ini, dengan gugup ia kembali melirik Hiruma, yang kini tengah menoleh menatapnya dengan geli.

"Kau bercanda, Anezaki."

Mamori menengok ke arahnya sambil menyipitkan mata. "Setidaknya aku mencoba membuka percakapan," ujarnya defensif. Wajahnya terasa panas.

"Tapi itu bodoh sekali, kekeke," ejek Hiruma. "Kau kan bisa bertanya hal lain."

Mamori mendengus kesal. Bagaimana bisa Hiruma masih berefek seperti ini padanya? Ketika ia sedang memikirkan kalimat pembuka pembicaraan yang pantas, Hiruma tiba-tiba mengatakan sesuatu.

"Penerbanganku melelahkan seperti biasa. 11 jam New York-Tokyo," sahutnya tanpa ditanya. Matanya menatap lurus ke depan.

Mamori menatapnya seolah ia gila, lalu menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Memangnya jam tubuhmu sudah normal?" tanyanya kali ini.

Restoran yang mereka tuju sudah terlihat, di ujung jalan. Hiruma menyeringai dan berkata, "Jam tubuh sialan ini bisa kuatur."

Mamori menatapnya tak mengerti. Saat ingin mengatakan sesuatu, mereka telah tiba persis di depan pintu restoran.

"Ayo, aku sudah lapar dan di luar dingin sekali!" gerutu Hiruma. Mamori tersenyum. Mungkin Hiruma belum begitu berubah.

Rupanya restoran Jepang ini sedang disesaki pengunjung. Atmosfer ruangan ini hangat sekali. Bukan hanya karena penghangat ruangan, tapi juga banyak keluarga dan pasangan yang sedang menikmati makan malam mereka di sini. Cukup sulit untuk mereka menemukan tempat kosong sampai mata Mamori menangkap meja kosong dengan dua kursi di dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan. Ia menoleh ke arah Hiruma, hendak akan mengajaknya duduk sampai ia bertemu pandang dengan mata hijau emerald milik Hiruma. Jantungnya berdegup keras dan lagi-lagi Hiruma memutuskan jalan pikirannya dengan berkata, "Ayo, di sana ada tempat kosong." Ia menunjuk ke arah meja kosong yang tadi Mamori lihat.

Setelah memanggil pelayan dan memesan makanan masing-masing, suasana kembali hening dan canggung. Setidaknya di antara mereka saja, karena suasana restoran tersebut begitu ramai. Mamori membasahi bibirnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Dinding restoran dilapisi wallpaper berwarna kuning gading, dengan beberapa lukisan bergaya kontemporer menghiasi bagian dinding yang kosong. Meja dan kursi terbuat dari kayu, memberi kesan ramah pada pengunjung. Terdapat sekat yang memisahkan setiap meja, memberikan privasi bagi pengunjung. Di sudut-sudut kosong berdiri hiasan pohon yang mempercantik ruangan.

Mamori kemudian menoleh dan mendapati dirinya menatap sosok di depannya. Matanya tertumbuk pada Hiruma yang tengah sibuk dengan ponselnya. Hiruma masih sama seperti dulu, dengan rambut spike blonde, sorotan mata tajam, dan wajahnya masih tampan meski terlihat sedikit lelah. Jemarinya bergerak lincah di atas papan ketik ponsel—sepertinya sedang mengetik pesan singkat.

Hiruma mendongak dan mendapati Mamori tengah mengamatinya. Ia melamun, pikirnya heran. Disapukan pandangannya ke wajah wanita muda tersebut. Wajahnya masih secantik dulu, walau sekarang agak pucat namun tak terlalu kentara, tertutupi oleh bedak. Matanya terlihat agak bengkak. Apa ia habis menangis? Tanyanya dalam hati. Rambut auburnnya lebih panjang dari yang terakhir diingatnya. Ia bertanya-tanya apakah rambut itu masih selembut dulu. Namun ia dengan cepat menepis pikiran melanturnya, secepat pikiran tersebut datang. Kau sudah putus dengannya, sialan! Rutuknya.

"Jadi, Hiruma, bagaimana NFL?" tanya Mamori tiba-tiba. Mata birunya mengarah pada sosok di depannya.

"Baik. Pada pertandingan musim lalu, tim kami menang atas Houston 45-42," jawabnya malas-malasan. Ia lalu bertanya, "Kau sendiri bagaimana?"

Mamori mengernyit. Lalu, "Aku masih mengajar, dan kupikir akan tetap seperti itu," ujar Mamori. "Bagaimana kabar Sena?"

Sena atau Kobayakawa Sena sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Sekarang Sena tinggal di Amerika dan bermain untuk Houston Texans sebagai running back. Mamori menonton pertandingan debutnya dua tahun silam dan hampir menangis karenanya. Adik kecilnya sudah tumbuh dewasa.

"Cebol Sialan itu ya... Dia masih saja cepat seperti biasa, tch! Sulit sekali mengalahkannya!" desis Hiruma kesal.

"Kau tahu, Sena—!" Ucapan Mamori terpotong saat pesanan mereka tiba. Ketika hendak akan melanjutkan kata-katanya, Hiruma berkata menirukan suaranya dengan nada malas yang dibuat-buat. "'Sena tidak pendek lagi!'" ejeknya. "Bagiku Cebol Sialan itu masih tetap pendek. Kekeke!"

Mamori meringis. Ia sedang tak ingin berdebat dengan Hiruma saat ini, jadi disantapnya makanan yang terhidang di hadapannya.

"Kau masih saja rakus seperti biasa, Manajer Sialan. Kekeke!" ejek Hiruma ketika dilihatnya wanita itu makan. Di depannya terhidang semangkuk Katsu Chicken Udon, sebotol air mineral, dan secangkir kopi. Ia menyeringai lebar sembari mengambil sumpit dan mulai memakan udonnya.

"Aku bukan manajer tim apa pun lagi, Hiruma," koreksi Mamori tenang. "Lagipula aku tidak rakus, kau tahu. Aku hanya sedang lapar sekali!" tukasnya sambil mendelik ke arah Hiruma.

Hiruma mengangkat bahu. "Baik-baik. Tapi aku bertaruh kau masih makan benda manis sialan itu!" Ia menyeringai, merasa puas dapat menggoda Mamori sekali lagi.

"Tak ada salahnya makan creampuff. Kenapa aku harus berhenti memakannya?" ujarnya tenang. Ia menoleh ke samping dan menatap jalanan ramai lewat kaca jendela.

"Karena kalau kau tidak berhenti memakannya, kau akan berubah menjadi monster gendut!"

Rupanya kata gendut berhasil mengusik Mamori karena kini ia menoleh dan menatap Hiruma sambil menggembungkan pipinya kesal. "Gendut?! Kau tahu, aku sudah berhasil menurunkan berat—!" Kemudian ia berhenti berbicara dan memberengut. "Kenapa pula aku menjelaskannya padamu!"

"Dan lagi anak-anak di sekolahku dengan senang hati makan creampuff..." imbuhnya. Mamori mengunyah makanannya, menunggu kalimat ejekan Hiruma selanjutnya. Namun tak terdengar suara. Ketika ia mendongak, dilihatnya Hiruma sedang termenung seolah kata-katanya barusan mengingatkannya pada sesuatu.

"Hiruma," panggilnya sambil menggoyangkan tangannya di depan wajah Hiruma. Makanannya baru setengah jalan dimakan. Kemudian Hiruma tiba-tiba terkekeh dan berkata dengan tenang, "Tentu saja."

Mamori memiringkan kepala sedikit dan mengamati Hiruma curiga. Lalu sambil mengibaskan sebelah tangan tanpa maksud, ia memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang mengusiknya sejak ia tahu Hiruma datang ke Jepang.

"Jadi, apa yang membuatmu berpikir untuk datang ke Jepang?" Meski ia mengucapkannya sambil lalu, tapi jantungnya kembali berdegup kencang.
Hiruma mengambil sesuatu dari kantung celananya—permen karet mint!, membuka bungkusnya, lalu memasukkannya dalam mulut. Sambil mengunyah permen karet, ia menjawab dengan malas. "Entahlah. Bisa dibilang aku hanya ingin berlibur."

Selama beberapa detik Hiruma terdiam. "Mengunjungi teman lama, kau tahu." Ia menambahkan dengan ragu.

Mamori tidak berkomentar. Sebenarnya, ia tak tahu harus berkata apa. Perbincangan ini terdengar seperti basa-basi. Hiruma sepertinya juga merasakan hal yang sama karena ia kemudian berkata tanpa tedeng aling-aling.

"Aku juga bermaksud menemuimu." Raut wajahnya berubah serius dan kini sedang menatapnya tajam. Selama beberapa detik Mamori merasa tubuhnya menegang saat bertatapan langsung dengan mata Hiruma. Kemudian ia memalingkan wajah, tak ingin Hiruma membaca dirinya dengan mudah.

"Begitu..." gumamnya.

Ia merasa Hiruma sedang mengamati raut mukanya dengan saksama. Ia sungguh berharap Hiruma takkan menyinggung topik sensitif itu—tentang hubungan mereka. Namun Hiruma ternyata tak berkata apa-apa. Mamori mendapati dirinya teringat kejadian bertahun-tahun silam.

Flashback

Ia menatap secarik kertas bertuliskan nomor telepon Hiruma yang tak dapat ia kenali. Dan di sinilah ia berada, duduk termenung di pinggir tempat tidur. Setengah mati ingin menelepon Hiruma, namun takut pada apa yang akan didengarnya. Kenapa aku ini? Batinnya.

Sambil berdoa dalam hati, ia meraih ponselnya yang sedari tadi tergeletak di tempat tidur. Dimasukkannya nomor telepon Hiruma dalam ponselnya, lalu menekan tombol Call. Dengan gemetar, ia menempelkan ponselnya di telinga dan menunggu seseorang di sana mengangkatnya. Tangannya yang bebas bergerak-gerak gelisah di pangkuannya.

Kemudian, "Hello," kata suara serak di ujung telepon.

Selama beberapa saat Mamori tak sanggup berbicara. Telapak tangannya membasah. "Hello! If you don't fucking answer, I'll end this call!" kata Hiruma kasar.

"Hiruma-kun..." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Kini lidahnya terasa kelu.

Sejenak Hiruma tak bersuara. Entah berapa lama waktu berselang sampai Hiruma berkata dengan pelan, "Anezaki..."

Mamori ingin menangis mendengar namanya keluar dari bibir Hiruma. Namun dipaksakan mulutnya berbicara meski suara yang keluar pelan, "Hiruma-kun, kau baik-baik saja?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Mamori, Hiruma malah bertanya balik. "Dari mana kau tahu nomor ini?" tanyanya dengan gusar.

Mamori mengerjap. "Aku menanyakannya pada Kurita..." jawabnya pelan.

Ia bisa mendengar Hiruma berkata sesuatu, tapi ia hanya menangkap kata-kata seperti "Gendut Sialan!" Kemudian sejenak hening sebelum Hiruma terkekeh. "Tapi kau masih hebat seperti biasa."

Ia membelalakkan mata tak percaya. Rasa sedih dan cemas yang sudah menghantuinya selama berbulan-bulan, mendadak terganti oleh amarah. Ia menggertakkan gigi, menahan rasa marah yang kini membuncah dalam dirinya.

"Kenapa kau tak menghubungiku?!" semburnya. Ia tak peduli lagi bahwa kini suaranya bergetar—entah marah atau sedih, dan air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.

"Kenapa kau menghilang begitu saja?! Kupikir kau cedera, aku cemas setengah mati, kau tahu! Apa kau baik-baik saja?" Napasnya pendek-pendek karena kini ia setengah bicara setengah terisak.

Ia bisa mendengar Hiruma mendesah di ujung telepon. "Anezaki, kau tidak mengerti. Aku harus—"

"Tentu saja aku tak mengerti karena kau tak mau memberitahukannya padaku!"selanya marah. Ia memejamkan mata sebentar, menghirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Hiruma-kun, ada apa sebenarnya?" lanjutnya ketika ia merasa lebih tenang.

"Dengar, Anezaki. Aku ingin kau berhenti menghubungiku." Suara itu begitu dingin, begitu tak bersahabat.

Tanpa disadari tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Entah bagaimana ia berhasil menemukan kembali suaranya. "A-apa maksudmu?"

"Aku tidak mau membuatmu resah, jadi kuputuskan untuk tak lagi mengabarimu," katanya, tak menjawab pertanyaan Mamori.

"Kau membuatku resah karena tak memberikan kabarmu padaku!"

"Kau tak mengerti!"

"Ya, aku tak mengerti karena itu jelaskan padaku!"

"Damn it, Anezaki! Berhentilah seperti ini dan lakukan saja!"

"Jelaskan padaku!"

"Kau membuatnya bertambah sulit!"

"Sulitkah menjelaskannya padaku, Youichi? Aku tak mengerti kenapa kau bertingkah seperti ini!" Suaranya bergetar, air mata yang susah payah ia tahan kini jatuh membasahi tangannya yang terkepal erat di pangkuannya.

"..."

"...Kau tahu aku selalu mendukungmu."

"..."

"Dan aku menunggumu di sini. Sampai sekarang..." Bisiknya.

"...Aku melakukannya untukmu," ujar Hiruma pelan dengan mata terpejam.

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Hi—" Kata-kata Mamori terhenti begitu mendengar suara keras di ujung telepon.

"Dengar, aku harus pergi sekarang. Dan ingat kata-kataku, berhenti menghubungiku." Ia mendengar Hiruma menghela napas panjang. Kemudian ia melanjutkan dengan pelan, "Percayalah padaku."

Percayalah padaku!

Mamori menoleh menatap langit Tokyo yang menggelap, lewat jendela apartemennya. Bertanya-tanya kenapa situasi menjadi begitu sulit baginya dan Hiruma. "Aku tetap tidak mengerti sampai kau menjelaskan semuanya padaku... Dan aku tahu ini bukan percakapan yang layak dibicarakan melalui telepon, tapi kita tak punya pilihan lain, bukan?"

Ia bisa merasakan sesuatu meremas dadanya hingga rasanya nyeri. Lalu ia tersenyum samar meski air mata masih membasahi pipinya. "Aku tak tahu apa yang mengganggumu. Tapi aku percaya padamu. Selalu seperti itu."

"Aku tahu..." Suara Hiruma begitu pelan sampai-sampai Mamori nyaris luput mendengarnya.

"Sampai jumpa lagi..."

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, Mamori memutuskan hubungan telepon. Ia menatap ponselnya kalimat Call Ended di ponselnya berkedip, sebelum menghilang dan menunjukkan wallpaper Devil Bats menghiasi layar ponselnya seperti yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun.

Flashback End

"Anezaki?"

Yang dipanggil tidak menunjukkan tanda-tanda mendengarnya.

"Anezaki," panggil Hiruma, kali ini lebih keras.

Tetap tak ada respon.

"Anezaki!" Diguncangnya tangan Mamori.

Mamori tersentak dan dengan cepat menoleh ke arah Hiruma. Ia kemudian sadar tangannya sedang digenggam oleh Hiruma, dan perasaan hangat merambati sekujur lengannya. Perlahan ia menarik tangannya dari genggaman Hiruma.

"A-apa? Ada apa?" katanya tergagap. Ia kembali menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit, lalu menyesap tehnya.

"Kau melamun terus dari tadi, kau sadar?" komentar Hiruma, ekspresinya datar.

Mamori mengerjap dan tertawa gugup. "Begitukah? Mungkin aku hanya terlalu lelah hari ini."

"Hmm," gumam Hiruma tak jelas. Kemudian ia memanggil pelayan, mengeluarkan dompet dari saku celananya, dan membayar bill. Mengabaikan tatapan tajam yang diberikan Mamori.

"Hiruma!" protes Mamori.

Hiruma meliriknya sekilas. "Apa?" tanyanya malas.

Dengan cepat Mamori mengeluarkan dompet dari tas genggamnya, mengeluarkan sejumlah uang, dan meletakkannya di atas meja. Ia mendorong uang tersebut ke depan Hiruma. "Ini. Aku bayar pesananku sendiri," ujarnya.

Hiruma mengambil uang tersebut, lalu mengulurkannya kembali pada Mamori. "Tidak perlu. Aku yang traktir," katanya sambil menyeringai.
"Tidak, biar aku—!"

"Aku persilahkan TuanHirumamentraktirku," potognya tenang. Meski menyeringai, nada suaranya mengisyaratkan tak ada ruang untuk berargumen.

Mamori mendesah dan tersenyum kecil. "Baiklah!" ucapnya mengalah.

Kemudian Hiruma mendorong kursi ke belakang dan bangkit. Mamori menatapnya sebentar, lalu mengangguk mengerti. Dikenakannya mantel dan skarf yang tadi ia lepas dan meraih tas genggamnya. Ia lalu bangkit dan berjalan mengikuti Hiruma, yang hampir mendekati pintu restoran.

Begitu pintu terbuka, angin dingin menerpa wajah keduanya. Hiruma menggerutu kesal karena kedinginan, sementara Mamori merapatkan mantel dan skarfnya. Hiruma mengeluarkan ponselnya, lalu menatap Mamori. "Apa nomormu masih sama seperti dulu?" tanyanya.

Mamori terdiam. Lalu, "Ya," jawabnya ragu, tak berusaha menanyakan hal yang sama.

"Baiklah." Untuk sepersekian detik ia berpikir melihat Hiruma tersenyum. Tiba-tiba Hiruma meraih tangannya dan menggenggamnya sebentar. Mamori menatapnya kaget, tapi sebelum protes sempat keluar dari bibirnya, Hiruma sudah lebih dulu melepaskan genggamannya.

"Makan malam yang menyenangkan," katanya. Sambil berbalik hendak akan pergi, Hiruma tersenyum samar. "Selamat malam, Anezaki."

Sebelum Hiruma berjalan jauh, Mamori berseru, "Hiruma-kun!"

Hiruma menengok ke arahnya tanpa membalikkan badan. Sebelah alisnya naik, matanya bertanya-tanya.

Mamori menarik napas, lalu mengembuskannya. Ia tersenyum lembut. "Kita masih berteman, kan?" serunya agak keras hanya agar Hiruma bisa mendengarnya di tengah jalanan Tokyo.

Hiruma menatapnya heran, lalu menyeringai. "Tentu, Manajer Sialan," sahutnya, lalu berjalan kembali dan menghilang di tengah keramaian.

Mamori mulai melangkah di sepanjang jalan. Perasaan hangat kembali menjalari sekujur tubuhnya. Sial, sepertinya aku masih menyukaimu, gumamnya sambil tersenyum di balik skarfnya. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu berjalan agak lebih cepat dan menghilang di balik kerumunan orang.



Notes : Mungkin update chapter selanjutnya agak lama. Soalnya saya harus menghadapi UN dan SNMPTN/UMBPTN.. Doakan yaa~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Mind to leave your impression about this post?